Pengumuman

1. Mohon mengisi data alumni selengkapnya sesuai dengan formulir yang ada di content portal kita ini
2. Bagi siapa saja yang mengetahui teman, relasi, saudaranya, yang pernah menikmati pendidikan di ITB namun merasa belum terdaftar sebagai alumni ITB, silahkan menghubungi kami

Minggu, 15 April 2012

Pasar BABATAN

Saya termasuk yang suka jalan-jalan ke pasar, bukan untuk belanja saja tapi juga menyimak perilaku orang-orang yang jualan menarik pembelinya dengan gaya bicara yang tak jarang lebih menarik dari seorang penyanyi. Misalnya cara tukang kurupuk yang pake tanggungan seperti “Apolo” tidak sekedar hiji (1), dua, tilu (3) tapi berirama … hiji na hiji jaradi dua, duana dua jaradi tilu dan seterusnya. Saya juga suka tukang beras meratakan beras dengan kayu bulat halus dan cara mengambil sampel dari karung dengan tusukan kerucut logam sehingga tidak perlu membuka karungnya. Yang paling menarik adalah cara tukang obat membual dan membangkitkan sugesti para penontonnya sehingga mereka mau membeli obat dewa yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Sedikit banyak hobi saya mengajar mungkin juga karena diilhami tukang obat yang sering saya tonton waktu kecil dulu. Di tempat kelahiran saya, Bandung,  banyak sekali pasar yang sudah saya datangi dan yang tersering adalah pasar Pamoyanan di jalan Dursasana 15 menit berjalan dari  rumah saya di Jalan Pajajaran, disitu terkenal pindang tongkol dan dendeng gajih nya . Selain itu ada  Pasar Andir dekat Lanu Husein tempat bapakku bekerja,  Pasar Baru tempat  jajan soto bandung, ada pasar Kosambi, pasar Sukajadi, dan pasar Jamika dekat Situ Aksan. Keluar kota sedikit ada pasar Antri Cimahi dekat kuburan mbah kakung dan pasar Lembang tempat jajan ketan bakar. Dari semua pasar tersebut  ada satu pasar yang menjadi sumber inspirasi kisah ini dan mewarnai romantika kehidupan saya di kampus itb, tepatnya waktu masih di TPB, Pasar Babatan……..
Pasar Babatan berfungsi seperti pasar induk sedangkan untuk jual beli umum dilakukan di sebelahnya yaitu di gang Dulatip, sementara pasar yang lebih bersih dan menjual makanan serta banyak warung makannya ada di Pasar Baru, di tepi jalan Otista, sekitar 2 blok dari Babaatan. Yang masih menjadi tanda-tanya saya adalah kenapa nama jalannya Babatan, sementara di sekelilingnya adalah nama jalannya menggunakan nama orang seperti Dulatip, H. Fahruroji, H. Yakub, Ence Azis; mungkin mereka dulunya pemilik tanah yang menyumbangkan lahannya untuk dijadikan jalan. Areal Babatan masih berada dalam radius jalan kaki dari stasiun Bandung yang terkenal dengan sate kambing Hadorinya. Babatan dikelilingi komunitas Cina, di utara jalan Kebonjati tempat basket dan bioskop Tionghoa “Kencana”, di barat jalan Gardujati banyak toko obat Cina,dan di selatan jalan Asia Barat, tempat restoran dan bioskop Cina elit “Capitol” yang terkenal dengan bubur ayam Capitolnya yang aroma nikmatnya masih terbayang sampai sekarang (jangan-jangan pakai babi ya?)
Sore itu selepas kuliah Fisika Modern nya pak Hariadi Supangkat yang lembut itu saya bergegas mengengkol Vespa abu-abu kesayangan saya untuk segera pulang karena malam harinya saya ditunggu di Pasar Babatan, pasar induk di kota Bandung pada masa itu. Sesampai di rumah saya mengeluarkan mobil Colt buntung L 100 yang biasanya digunakan adik saya untuk mengirim barang- barang dagangan untuk usaha sampingan dia sambil kuliah di Unpad. Saya memang sedang panas hati karena bokap suka memuji adik saya yang sudah bisa cari uang sendiri. Saya tentunya nggak mau kalah dan memutuskan untuk mencari uang mulai malam ini dengan bermodalkan colt buntung warna hijau muda itu. Apalagi saya sudah berkomitmen kepada orang tua saya bahwa cukup dimodali Rp. 200 ribu, saya tidak akan minta uang lagi untuk kuliah sampai selesai  Lepas shalat magrib saya meluncur ke selatan menyusuri jalan Pasir Kaliki terus nyebrang rel kereta api dan berbelok di Jalan Kebon Jati terus belok kanan di Gang Dulatip. Sengaja saya tidak mengambil jalan besar lewat Pasar Baru karena tujuan saya malam ini bukan untuk belanja tapi untuk ngobyek omprengan. Sebelum terjebak di jalanan sempit dan macet pasar Babatan saya berhenti sebentar di pertigaan Jalan Haji Yakub dan Ence Azis untuk ketemu dengan Toni Cemen, teman adik saya yang akan menjadi guide saya di pasar babatan ini selalian memeriksa kelengkapan wajib seperti tambang, terpal, kunci roda, dan ban serep. Setelah beres persiapan kami bergerak pelahan menuju jalan babatan yang tak salah disebut pasar karena  jalan aslinya tidak lagi terlihat, seluruh jalan sudah dipenuhi oleh kegiatan yang campur aduk mulai dari parkir, orang jualan sayuran, buah-buahan, sampai tukang obat sehingga kita perlu meminta mereka untuk menyingkir sejenak agar mobil bisa lewat.
Awal-awal nyetir di pasar Babatan bikin saya keringat dingin karena tingkat ketelitian jarak antar mobil dan benda lain hanya sekitar 5 cm  tidak lebih!!! Untung ada Toni cemen, guide merangkap kenek, yang dengan sigap turun dari mobil memberi komando..terus terus banting kiri, kanan dikit. Bales..ya heuup!! bak Colt buntung saya siap NGETEM (nunggu barang angkutan) tepat 10 cm dari tumpukan karung ubi dan singkong dan disampingnya adalah gerobak sampah  dengan tulisan: “Sengsara karena porkas!!”
Toni dengan sigap mendatangi satu per satu para pemilik komoditi yang akan dikirim dan mulai melakukan tawar menawar; ada sayuran ke Purwakarta minta 8 ribu, beras ke Cipanas Puncak minta Rp. 7500,- sampai yang terjauh ke Cirebon ngangkut ubi dan singkong yang menawarkan sepuluh ribu (kejadian tersebut 27 tahun yang lalu atau angka kira-kira sekarang adalah 50 kalinya). Walaupun lumayan gede borongannya, saya hindari untuk ke Cirebon karena kejauhan,  terlalu riskan sebab besoknya ada  jadwal kuliah pagi. Karena ini ngetem perdana saya, akhirnya saya terima ngangkut sayuran dengan tawaran yang dekat yaitu ke Sumedang dengan bayaran limaribu rupiah. Sebenarnya walaupun pendatang baru, banyak pedagang sayur yang minta saya yang mengangkut, katanya supir yang ini mah beda   “tah nu ieu mah sopirna kasosep siga Dedi Dores euy” (nah yang ini sih sopirnya keren seperti Dedi Dores) . Pura-pura tidak dengar saya menyimak celotehan para pedagang, dan sebagai manusia tak urung saya “beukah irung”na istilah sunda bagi orang yang senang karena dipuji, tak peduli yang muji itu cewek-cewek pasar bergincu atau lipen setip merah dan mukanya putih berkat sapuan bedak Vinolia.
Sekitar jam 11 malam seluruh karung sayuran selesai dimuat dan ditutup terpal untuk selanjutnya ditarik tambang dari sudut ke sudut dan dari sisi ke sisi. Kaget juga setelah saya lihat tinggi muatan di bak belakang mencapai hampir 5 meter, dan si pedagang mendekam di antara terpal dan tali temali pengikatnya, gawat nikh nyetirnya !!.  Dengan mengucap bismillah colt buntung saya mulai bergerak menyusuri jalan Belakang Pasar dan jalan Haji Basar sebelum masuk ke jalan Gardujati yang mulai sepi karena took-tokonya sudah tutup kecuali satu dua warung makan. Di jalan Sudirman atau Asia Barat saya  arahkan mobil menuju timur dan tanpa terasa kita sudah berada di luar kota yaitu Cicalengka tempat persimpangan arah ke Garut dan Cirebon.  Menurut para supir tambangan, yang perlu diperhatikan adalah polisi iseng dan jembatan timbang yang suka mencegat kita dan kiat untuk mengatasinya juga sudah standard cukup sediakan uang recehan seratus, asal tidak ada pelanggaran berarti seperti menabrak orang, maka urusan selesai. Saya juga diajari kode-kode misalnya klakson dua kali sebagai salam apabila berpapasan dengan mobil tambangan yang lain dan yang penting diperhatikan adalah lampu dim dua kali sebagai tanda di belakang sana ada “kiong-kiong” istilah untuk polisi lalu lintas.
Saya mencoba menutupi perasaan angker di sepanjang Cadas Pangeran, yang konon banyak pekerja rodi pembuatan jalan Daendles yang mati penasaran,  dengan memutar kaset Rhoma Irama selaras dengan tulisan di gerobak sampah tadi…………
Aku sengsara karena judi
Aku melarat karena judi
Aku merana karena judi,
Judi yang membawa ku maatiii hi hi hi hi hi…………………
 Singkat cerita sampailah kami di pasar Sumedang sekitar jam 00 dan para pedagang dibantu Toni Cemen membongkar dan menurunkan barang barang. Sambil menunggu, saya mampir di warung tahu Sumedang untuk minum bandrek dan membungkus tahu sumedang dengan lontongnya sebagai oleh-oleh untuk ibu saya. Uang kertas ribuan lima lembar saya tempelkan di dahi sebagai tanda rasa senang mendapatkan uang hasil keringat sendiri. Sementara itu, Toni Cemen dengan ligatnya berhasil mendapatkan tarikan baru walaupun hanya menawarkan Rp. 1000 untuk mengangkut 2 orang dengan 2 kardus perkakas yang mau pergi ke Bandung. Daripada ngosong atau menunggu tanpa kepastian saya terima mereka, apalagi Toni juga bilang kalau kita bisa kembali ke pasar Babatan sekitar jam 1 an, masih ada harapan untuk narik satu rit lagi. …
Karena saya sudah mulai terbiasa dan lebih percaya diri karena tidak ada cegatan polisi atau petugas timbangan, maka kecepatan mobil sudah berani melewati 90 km/jam sehingga sepanjang jalan alarm peringatan speed limit colt L 100 meraung-raung, dan saya mulai belajar untuk tidak mempedulikannya. Dugaan Toni benar, walaupun bukan partai besar, ternyata masih ada tarikan walaupun hanya untuk jarak dekat yaitu ke Majalaya, lumayan dapat tambahan Rp.1500 lagi. Hari pertama berlangsung mulus karena perjalanan ke Majalaya pun hanya bertemu polisi coklat yang praktek di jalan dalam perjalanan pulang dan mobil sudah kosong sehingga saya hanya diminta menunjukkan surat-surat dan boleh jalan lagi. Dengan lancarnya acara omprengan perdana tersebut serta jumlah setoran bersih Rp. 6000, maka saya menjadi lebih bersemangat untuk paling tidak seminggu dua kali ngetem di pasar babatan sehingga si Dedi Dores gadungan semakin dikenal dan langganannya bertambah banyak. Sampai sekali waktu setelah mengantar sayuran ke Purwakarta, pulangnya ditawari untuk mengantar itik petelor ke Cianjur yang tersisa karena tidak terangkut oleh rombongan itik pertama. Walaupun agak ragu karena besok paginya jam 7 ada kuliah kimia, tapi akhirnya saya setuju karena jalan ke Cianjur dini hari masih sepi sehingga mobil bisa saya kebut. Jam 5 pagi saya sudah masuk Rajamandala, hanya seperempat jam lagi sampai Cianjur, masih aman pikir saya…
Tapi, tanpa diduga, pemilik itik minta belok kiri 5 km sebelum masuk kota Cianjur, memasuki jalan desa yang masih asing, katanya menuju suatu tempat untuk bertemu rombongan itik yang sudah jalan duluan. Apa lacur, jarum panjang jam telah menunjuk angka 10 sebelum jam 6 pagi tapi kawan yang jalan duluan tidak juga kunjung ketemu dan saya memaksa pengantar itik itu untuk turun di tempat terdekat. Akhirnya itik tersebut diturunkan di pesawahan yang baru saja dipanen, tapi sialnya dia minta maaf tidak bisa bayar karena semua uang tunai dibawa oleh kawannya yang di depan. Saya sudah putus asa dan berniat merelakan saja ongkos angkut sekitar 40 ekor itik tersebut kalau saja si angon itik tidak berteriak gembira ketika dia mulai membuka keranjang keranjang itik tersebut: endogan euy!! Endogan!!  …..saya bergegas kembali ke Bandung dengan kecepatan rata rata 90 km per jam dengan senyum tertahan, lumayan dapat oleh-oleh 40 butir telur itik yang masih hangat…..Hanya sempat cuci muka, walaupun telah 15 menit,  saya masih bisa ikut kelas kimia walaupun dimarahi bu dosen karena unjuk jari untuk bertanya padahal saya tidur, Kalau ngelindur di rumah saja nggak usah kuliah!!
Pengalaman transaksi barter “endog meri” atau telur itik tersebut mengakhiri kenangan saya ngompreng di pasar Babatan karena mobil colt buntung kesayangan tersebut akhirnya ditukar oleh adik saya dengan colt penumpang akibat rayuan seorang kopral brimob yang berjanji akan memberikan penghasilan 100 ribu bersih setiap minggu, kalau dia bisa menyewa mobil untuk omprengan gelap….dan malang tak dapat dihindarkan colt tersebut berakhir dengan tabrakan tanpa ada pemasukan. Saya sendiri sudah mulai tenggelam dengan beratnya pelajaran  di elektro sampai frustasi dan nyaris keluar itb seperti saya tuliskan dalam kisah saya yang lain di “Balebat ti Beulah Wetan.”
Saat ini tiga puluh dua tahun setelah saya akhirnya menyelesaikan studi di Ganesha 10, bukan hanya pasar Babatan yang sempit dan macet tapi hampir semua jalan di kota Bandung sudah berubah, ITB sudah berubah…………semuanya macet bukan hanya di pasar Babatan…. Ada hal lain yang berbeda,  di pasar Babatan dulu walaupun macet dan ruwet tapi kita masih bisa merasakan adanya aroma kesantunan dan saling menghargai. Tapi Bandung sekarang walaupun dihiasi dengan outlet dan Mall yang berdiri megah sudah jarang kita dengar tiga kata santun; maaf, permisi, dan terima kasih… terutama setelah makhluk yang namanya SEPEDA MOTOR, species baru yang sering membuat pengendaranya lupa etika, berkembang tak terkendali… .

PLN itu LUCU

Mengutip tetangga ...

From: press63@yahoo.com
Sender: ...@yahoogroups.com
Date: Sat, 14 Apr 2012 13:46:46 +0000
To: 
ReplyTo: ...@yahoogroups.com
Subject: PLN Lucu kayak Kitiran Petruk Gareng

Iya HG betul PLN itu lucu atau lebih tepat dibuat lucu seperti kisah petruk gareng yang jadi kitiran angin di kampung Nusantara berikut:
Petruk: Kang Gareng kenapa ya pak Lurah dan orang kampung marah2 dibilang kita malas, nggak becus memutar kitiran sehingga kampung kepanasan nggak ada angin
Gareng: Iyo Truk aku ya bingung padahal kita muter kitiran kalau ada angin.. Nah tuh lihat orang kampong pada demo dan menuntut kita turun karena sdh tak tahan kepanasan nggak ada angin , dan pak Lurah menegur Gareng Petruk.
Lurah: Reng, Truk gimana sih kamu kok malas ngengkol kitiran jadi nggak ada angin disini
Gareng: Loh pak Lurah ni lucu, kita kan
Muter justru kalau ada angin
Tiba2 angin datang dan Pet Gar mulai berputar dan pak Lurah dg penuh kemenangan bilang: tuh kan apa saya bilang kalau kalian mau ngengkol anginnya datang, dasar malas!!
Akhirnya datang Bagong menghadap pak Lurah dan bilang sanggup membuat angin yang tidak pernah berhenti kalau dia boleh menggantikan Petruk Gareng dan pak Lurah setuju
Lantas Bagong meminta pak Lurah untuk menjual persediaan cadangan padi di lumbung untuk menyewa kipas angin dari Cina
Dalam waktu kurang dari 6 bulan semua kitiran Bagong berputar tanpa henti karena dipasang kipas angin
Masyarakat dan pak Lurah memuji kehebatan Bagong dan akhirnya mengangkat Bagong jadi mantri ...paceklik datang tapi cadangan padi nggak cukup karena dipakai bayar sewa kipas angin... Horeee
Sent from BlackBerry® on 3

Dimana hubungannya Petruk Gareng dan Bagong dengan PLN ? Masih bingung ? Silahkan baca kisah berikut ini ... tentang Dahlan Iskan yang LUCU